Menikah adalah suatu sunnah Rasulullah. Lewat menikah seseorang melengkapi sisa separuh agamanya. Ibarat seekor merpati yang hanya memiliki sebuah sayap, menikah membuatnya memiliki sebuah lagi sayap yang hilang sehingga dengan keduanya akhirnya ia bisa terbang.
Setiap orang memiliki dasar ketika memilih pasangan hidupnya. Agama mengajarkan pilihlah pasangan yang memiliki agama yang baik sehingga dengannya kau akan saling memperbaiki diri. Jika ia menyukaimu, ia akan mencintaimu sepenuhnya, bahkan jika ia tidak menyukaimu, ia akan tetap menghormatimu dan memperlakukanmu dengan sopan.
Sebelum menikah, seringkali orang menetapkan kriteria yang diharapkan dari pasangan. Hal ini wajar dan manusiawi mengingat manusia menyukai apa-apa yang memiliki kesesuaian dengan dirinya dan menghindari apa-apa yang tidak sesuai. Namun, seringkali pula orang merasa kecewa pada akhirnya karena menghadapi kenyataan bahwa pasangan yang dipilih ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bagaimana menyikapi hal seperti ini?
Pertama, ingatlah bahwa menikah dan berpasangan merupakan kerja bersama di mana masing-masing pihak membawa kebaikan dan keburukannya masing-masing. Pernikahan adalah suatu wadah di mana proses asah, asih dan asuh terjadi. Karenanya dalam proses yang dijalani seringkali tidak ringan karena ada hal-hal yang bergesekan atau bahkan bertentangan dari apa yang diinginkan masing-masing individu tersebut. Disinilah terdapat kesempatan untuk saling menghargai dan bekerja sama dalam memperbaiki kekurangan masing-masing.
Kedua, ingatlah bahwa pasangan kita tetaplah seorang individu yang memiliki karakter, kebiasaan dan kemauan yang unik milik dirinya. Meskipun saat ini kita telah menikahinya, bukan berarti seluruh karakter, kebiasaan dan kemauannya harus mengikuti pola yang kita harapkan. Mungkin dalam beberapa hal ada yang bisa dipengaruhi. Akan tetapi kita harus tetap menghargai bahwa diri kita dan pasangan juga memiliki hal-hal yang berbeda.
Ketiga, ingatlah bahwa diri ini tidak sempurna dan jauh dari kesempurnaan. Dengan demikianlah harap dimaklumi bahwa pasangan kita juga bukan orang yang sempurna dan sangat mungkin berbuat salah atau hal-hal yang sangat tidak kita sukai. Diperlukan sifat pemaaf sambil senantiasa berjuangan untuk berusaha memperbaiki hal-hal yang seharusnya diperbaiki.
Keempat, ingatlah bahwa apa-apa yang kita sukai belum tentu hal yang baik bagi diri kita dan sebaliknya apa-apa yang kita benci belum tentu juga hal yang buruk. Terkait dengan pasangan, mungkin ada hal-hal yang tidak kita sukai dari dirinya. Nah perlu digali lebih jauh, jangan-jangan aspek tersebut adalah wadah yang diberikan Allah untuk kita bercermin dan memperbaiki diri sendiri.
Contoh sederhana adalah seorang suami terlahir dalam keluarga yang menjunjung tinggi keteraturan dan kerapihan, namun ia memiliki istri yang dibesarkan dengan cara berbeda di mana keteraturan bukan persoalan penting. Jauh di lubuk hatinya, lelaki ini berharap sang istri mengerti bahwa seharusnya rumah dijaga dalam kondisi yang rapi dan teratur. Namun sang istri yang berpikiran berbeda menganggap sang suami terlalu berlebihan untuk urusan kebersihan dan kerapihan. Baginya bersih dan rapi itu baik, tapi bukan berarti kondisi tersebut harus terus terjaga.
Jika masing-masing pihak tidak mencoba memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh pihak lain, maka masing-masing akan merasa ter”aniaya” oleh pasangannya. Untuk kasus seperti ini, kedua belah pihak perlu menyampaikan harapan masing-masing sehingga didapat titik temu di mana keduanya sepakat atas kondisi yang sama-sama bisa dan rela untuk dipenuhi.
Contoh lainnya seorang istri dibesarkan dalam lingkungan keluarga berada yang mapan. Sementara sang suami tumbuh dari keluarga sederhana yang sangat berhati-hati dalam mengelola pengeluaran karena terbatasnya sumber penghasilan. Ketika menikah, keduanya dikaruniai pendapatan yang lumayan. Sang istri dengan kebiasaan lama menggunakan pendapatan tersebut untuk membeli barang-barang yang menarik hatinya. Sang suami merasa istrinya terlalu berlebihan dalam berbelanja dan menuntut agar semua pengeluaran diatur sedemikian rupa agar hemat. Sang istri kecewa karena merasa suaminya terlalu perhitungan dalam urusan keuangan padahal menurutnya apa yang ia beli masih dalam batasan yang wajar dan toh pendapatan mereka juga sebenarnya mencukupi.
Untuk kasus ini, jika keduanya saling mengenal tentu bisa setidaknya memahami kenapa pasangannya memiliki perilaku tertentu dalam urusan keuangan. Dengan demikian, menyadari perbedaan latar belakang dan kebiasaan selama ini, keduanya dapat menghormati pandangan masing-masing dan mencari jalan keluar dengan menentukan apa yang dianggap wajar dan apa yang dianggap berlebihan.
Dua contoh di atas merupakan hal-hal ringan yang kadangkala bisa menjadi hal besar dalam rumah tangga. Perbedaan antar pasangan terjadi karena perbedaan latar belakang dan kebiasaan. Tidak ada yang salah pada pasangan tersebut. Yang dibutuhkan adalah pemahaman tentang latar belakang dan kebiasaan masing-masing untuk kemudian merumuskan bersama kebiasaan berbeda yang masih bisa diakomodir oleh pihak lainnya.
Contoh yang lebih berat misalnya seorang istri memiliki sifat pemarah yang tinggi sehingga keharmonisan rumah tangga terganggu. Sang suami merasa heran mengapa istrinya sering kali marah bahkan untuk hal-hal yang dianggap ringan dan sepele. Jika menuruti hawa nafsu, tentunya sang suami akan balas memarahi sang istri. Tapi apakah pendekatan demikian akan berhasil? Jangan-jangan sang istri memang dihadirkan kepada sang suami agar menguji sikap sabar dan pemaaf sekaligus membantu istrinya keluar dari persoalan menahan amarah.
Nah di sinilah pasangan berperan sebagai seorang penguji bagi diri kita sekaligus membantu mengungkap khazanah diri. Kita dituntut untuk mampu hidup dalam perbedaan-perbedaan tadi dan bersabar atas kondisi yang mungkin kurang disukai, sekaligus belajar dari pasangan mengapa dia berperilaku atau bertindak tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Seiring dengan berjalannya waktu, dengan kesabaran dan ketekunan dalam memahami pasangan, kita akan mendapatkan pelajaran berharga mengapa Allah memilih dia sebagai pasangan kita, bukan yang lain.
Assalam…
Bagaimana cara meyakinkan diri pada pasangan yang selalu sibuk dengan pekerjaannya? apakah dia setia pada saya ? egoiskah saya bila saya terkadang menuntut kehadirannya padahal dia sedang dalam tugas kerja?
tapi saya merasa jadwal kerja dia terlalu, sangat, super sibuk?
Terima kasih
@Suchy
Wa’alaikum salam Wr. Wb.
Dalam setiap pasangan, yang sering terjadi adalah komunikasi yang putus.
Jika pasangan terlalu sibuk dengan pekerjaannya, perlu diingatkan apa yang sebenarnya ingin dikejar dalam hidup berumah tangga. Bisa jadi pasangan menjalani seluruh kesibukannya dalam usaha untuk membahagiakan keluarga. Tetapi jika keluarga tidak bahagia karena itu, dia perlu diingatkan untuk lebih memberi perhatian. Dia perlu tahu apa yang diharapkan oleh pasangannya dan apa yang tidak. Seringkali kita menyampaikan maksud tsb hanya dengan bahasa isyarat sehingga pasangan tidak mengerti atau tidak menyadari.
Komunikasi yang lancar dan terbuka sangat membantu untuk menyelesaikan banyak persoalan rumah tangga.
Semoga membantu.
Dua karakter berbeda disatukan dalam ikatan. Setuju kalo kita saling belajar memahami setiap perbedaan. tapi kalau sepihak ? kita yang slalu dituntut untuk terus memahami kondisi pasangan. Sementara pasangan tetap kukuh pd pendiriannya. Suami tempatnya benar. Istri tempatnya salah. Bagaimana dong p’Noer ?
@ Yanni
Pernikahan memang membutuhkan pengorbanan. Adakalanya suami berkorban untuk istri dan sebaliknya istri berkorban untuk suami. Dalam hal memahami pasangan, sering juga terjadi pasangan kita tidak bisa memahami diri kita. Di sinilah dibutuhkan kesabaran dalam membina saling pengertian. Mungkin kita berada pada pihak yang harus mengalah, lakukanlah terlebih dahulu. Insya Allah ada waktu-nya pasangan kita akan berubah seiring dengan sikap yang kita tunjukkan padanya.
pengorbanan disalah artikan menjadi “hati yg sering terluka” krn sayang & cinta, tdk ingin istri terus terluka, malah ingin melepaskan ikatan..kadang jd serba salah, berusaha bertahan (sambil terus berbenah diri) sementara suami menyerah..Idealnya sih belajar sama2.. Bagi saya pernikahan ibarat sekolahan (tp bkn TK), dimana ada proses belajar, ujian, bermain,kerja klompok dll. kalau kita bisa melewati ujian, artinya kita naik kelas/tingkat (brtmbah tingkat ksabaran,kprcayaan dll)